Senin, 23 Desember 2013

Penologi

KASUS POSISI

            Pada pukul 02.30 WIB, tanggal 27 Oktober 2013, di Jalan Raya Simpang Tiga dekat Tugu Kelurahan Simpang Tiga Kecamatan Kaur Utara, telah terjadi suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana pencurian dengan kekerasan, atas peristiwa tindak pidana pencurian tersebut, Verawati sebagai korban melaporkan peristiwa tersebut kepada pihak Kepolisian Sektor aur Utara. Kronologis peristiwa tindak pidana pencurian dengan kekerasan tersebut berawal ketika 2 (dua) orang tersangka yang bernama Iwan Joeheri dan Lianto melintasi Jalan Raya Simpang Tiga dekat Tugu Kelurahan Simpang Tiga Kecamatan Kaur Utara dengan menggunakan sepeda motor Merk Yamaha Jupiter MX, sementara tersangka Iwan Joeheri yang mengendarai sepeda motor tersebut dan tersangka Lianto dengan posisi dibonceng. Pada saat yang bersamaan kedua tersangka melihat 2 (dua) orang perempuan yang sedang berjalan di tepat di arah depan kedua tersangka, lalu tanpa pikir panjang Kedua tersangka Iwan Joeheri dan Lianto menghampiri 2 (dua) orang perempuan tersebut dan menarik paksa sebuah tas salah satu dari 2 (dua) orang perempuan tersebut yang pada ketika itu menyandang tas dibahu sebelah kanannya, sempat juga perempuan tersebut melakukan perlawanan dengan menarik tali tasnya, namun karena tersangka Lianto memegang bagian isi tas dan tersangka pun lebih kuat menariknya, hingga akhirnya tali tas dari perempuan itu (Verawati) putus dan tas pun berhasil dirampas oleh kedua tersangka, kemudian kedua tersangka pun melarikan diri dengan sepada motor yang melaju kencang.

            Lalu dengan histerisnya perempuan (Verawati/Korban) dan temannya tersebut berteriak dengan keras “Jambret…. Jambret…. Jambret”, dan masyarakat yang pada saat itu berada di sekitar lokasi kejadian mendengar teriakan tersebut, ketika itu seorang saksi bernama Jhon Seri yang kebetulan tidak begitu jauh dari lokasi kejadian langsung mengejarnya, karena panik serta ketakutan, kedua tersangka kehilangan konsentrasi dan akhirnya mereka terjatuh akibat mobil yang menghalangi jalan mereka, kemudian saksi Jhon Seri menangkap dan mengamankannya berikut barang bukti berupa tas beserta isinya, dan Motor yang digunakan oleh kedua Tersangka pun ikut diamankan, hingga akhirnya Verawati perempuan yang menjadi korban tindak pidana pencurian tersebut melaporkan kejadian yang menimpanya kepada pihak Kepolisian Sektor Kaur Utara. Ketika diperiksa oleh Pihak Kepolisian Sektor Kaur Utara, kedua tersangka mengakui bahwa memang sebelumnya kedua tersangka sudah merencanakan kejahatan yang akan mereka lakukan, namun atas anjuran (uitloken) dan ajakan dari tersangka Iwan Joeheri, dengan kalimat ajakan “Ayo kita Z” (yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah Zambret), dan Tersangka Liantol pun menjawab “Ayo”.

            Akibat tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh tersangka Iwan Joeheri dan tersangka Lianto secara bersama-sama, mengakibatkan tangan korban terpelintir dan menjadi bengkak sakit. Adapun barang bukti yang telah disita oleh Pihak Kepolisian Sektor Kaur Utara akibat tindak pidana pencurian dengan kekerasan oleh para tersangka, Iwan Joeheri dan Lianto, yang dilakukan secara bersama-sama, diantaranya:

1. 1 (Satu) buah tas warna hitam berbentuk bulat.
2. 1 (Satu) buah dompet wanita.
3. 3 (Satu) lembar uang kertas Rp. 100.000,- (sepuluh ribu rupiah).
4. 1 (Satu) unit sepeda motor Merk Yamaha Jupiter MX, dengan Nomor Polisi BD 3918 W.

Hasil penyidikan atas tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh tersangka Iwan Joeheri dan Lianto secara bersama-sama, yang mana salah satu tersangkat adalah salah seorang residivis yang baru beberapa bulan keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Pihak Kepolisian Sektor Kaur Utara menerapkan Pasal 365 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

TINJAUAN YURIDIS ATAS KASUS PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

            Bila menilik kasus di atas, tentu kita tidak dapat meninggalkan studi yang di namakan Penologi dan Kriminologi.
Topo Santoso, S.H., M.H. dan Eva Achjani Zulfa, S.H dalam buku Kriminologi. Teori psikoanalisa tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan perilaku kriminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik dia begitu menguasai sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan individu, dan bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera.
            Atas kasus yang dilakukan oleh dua orang pemuda pada kasus posisi diatas, kita harus mempelajari kondisi pelaku dalam bermasyarakat. Suatu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan melihat pada baian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing-masing berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain kita melihat kepada struktur dari suatu masyarakat guna melihat bagaimana ia berfungsi. Jika masyarakat itu stabil, bagian-bagiannya beroperasi secara lancar, susunan-susunan sosial berfungsi. Masyarakat seperti itu ditandai oleh kepaduan, kerja sama, dan kesepakatan. Namun, jika bagian-bagian komponennya tertata dalam satu keadaan yang membahayakan keteraturan/ketertiban sosial, susunan masyarakat itu tersebut dysfunctional (tidak berfungsi). Sebagai analogy, jika kita melihat jam dengan semua bagian-bagiannya sangat sinkron. Ia berfungsi dengan tepat. Namun jika satu pernya yang kecil itu rusak, keseluruhan mekanisme tidak lagi berfungsi dengan secara baik. Demikianlah perspektif structural functional yang dikembangkan oleh Emile Durkheim sebelum akhir abad-19. Jadi, ketika suatu perbuatan pidana terjadi pada suatu tempat atau suatu masyarakat banyak hal yang dapat dilihat dari banyak sudut pandang terhadap pelaku kejahatan itu. Faktor-faktor kehidupan sosial tentu mempengaruhi terjadinya perilaku menyimpang atas salah satu masyarakat atau kelompok masyarakat pada suatu daerah, dan masih ada beberapa faktor lagi seperti ekonomi, kebiasaan dan lain-lain.
Tindak pidana pencurian pertama yang diatur dalam KUHP di dalam Buku II KUHP adalah tindak pidana dalam bentuk pokok-pokok yang memuat semua unsur dari tindak pidana pencurian (Pasal 362 s.d. Pasal 367, meliputi beberapa jenis tindak pidana pencurian) sebagai berikut :
a. Pencurian biasa (Pasal 362);
b. Pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi (Pasal 363);
c. Pencurian ringan (Pasal 364);
d. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 365);
e. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367).
Melihat kasus di atas, maka kita akan fokus terhadap pasal 365 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 365 ayat (1)
Diancam dengan pidana paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
Ayat (2)
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :
1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam hari dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan;
2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3. jika masuk ketempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;
4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
Ayat (3)
Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Ayat (4)
Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.
Dari pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana terhadap kasus posisi diatas maka ayat dari pasal yang tepat dikenakan atas perbuatan pelaku kajahatan yang dilakukan oleh kedua orang tersangka Iwan Joeheri dan Lianto yakni: Ayat (2)
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :
1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam hari dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan;
2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3. jika masuk ketempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;
4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
            Untuk Ayat ke (4) saya rasa tidak perlu dikenakan terhadap pelaku kejahatan diatas, karnea menurut saya substansi pasal tersebut akan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan tujuan dari proses pemasyarakatan yangmana membuat para pelaku tindak kejahatan untuk menjadi lebih baik kedepannya, apabila ayat (4) dikenakan maka dapat dipastikan tidak ada kesempatan bagi pelaku tindak pidana untuk menjadi manusia lebih baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat.
Dan akhirnya setelah selesainya proses dipengadilan atas kasus kejahatan yang dilakukan oleh dua orang pelaku kejahatan akan menjalani tahapan pemidanaan ke dalam lembaga pemasyarakatan untuk mendapatkan pembinaan atau rehabilitasi.
            Ditinjau dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan atas kasus diatas, karena tersangka salah satunya seorang residivis. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran- pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang lalu dikenal dan dinamakan sistem pemasyarakatan.
Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan (stelsel) pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat (Pasal 14a KUHP), pelepasan bersyarat (Pasal 15 KUHP), dan pranata khusus penuntutan serta penghukuman terhadap anak (Pasal 45, 46, dan 47 KUHP), namun pada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem pemenjaraan, sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sehingga institusi yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi Narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak yang bersalah.
Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga "rumah penjara" secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar Narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan
lingkungannya.
Narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan Narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan Narapidana atau Anak Pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai
kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam Undang-undang ini ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum.
Sistem Pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dalam sistem pemasyarakatan, Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, atau Klien Pemasyarakatan berhak mendapat pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik keluarga maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui media cetak maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan lain sebagainya.
Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya.
Selanjutnya untuk menjamin terselenggaranya hak-hak tersebut, selain diadakan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang secara langsung melaksanakan pembinaan, diadakan pula Balai Pertimbangan Pemasyarakatan yang memberi saran dan pertimbangan kepada Menteri mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yang memberi saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di setiap Unit Pelaksana Teknis dan berbagai sarana penunjang lainnya.
Untuk menggantikan ketentuan-ketentuan lama dan peraturan perundang-undangan yang masih mendasarkan pada sistem kepenjaraan dan untuk mengatur hal-hal baru yang dinilai lebih sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka dibentuklah Undang-undang tentang Pemasyarakatan ini.
Residivis adalah orang yg pernah dihukum mengulangi tindak kejahatan yg serupa; penjahat kambuhan, jadi perlu kita perhatikan hal yang mendasari perbuatan yang dilakukan oleh tersangka. Apakah dia melakukan kejahatan karena benar faktor himpitan ekonomi atau karena tidak menjadi baik beliau setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan dan atau karena beliau memang orang yang mempunyai watak sebagai penjahat?.


REKOMENDASI

Hal mana suatu perbuatan pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum yang jelas-jelas akan merugikan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya. Bila melihat kasus posisi diatas, perbuatan pencurian dengan kejahatan sudah pasti telah merugikan salah satu pihak yaitu korban. Maka sudah barang tentu perbuatan yang dilakukan oleh tersangka diberikan ganjaran setimpal yakni pemidanaan, namun dalam hal pemidanaan kita juga harus memperhatikan Hak Asasi Manusia, tidak bisa serta merta diberikan penjatuhan hukuman seberat-beratnya terhadap pelaku kejahatan itu. Karena sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Indonesia telah mengubah sistem dalam penanganan pelaku kejahatan. Bila dulu bagi setiap pelaku tindak pidana diberikan pembalasan penjara atas perbuatan yang telah dilakukannya. Saat ini, sesuai dengan undang-undang tersebut bagi setiap pelaku kejahatan akan diberikan pembinaan setelah dijatuhkannya putusan oleh pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan dimasukkan kedalam Lembaga Pemasyarakatan atau dengan kata lain di rehabilitasi di Lembaga pemasyarakatan demi menjadikan pelaku kejahatan mempunyai kesempatan untuk menjadi seorang masyarakat baik dalam menjalani kehidupan di depan setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.

            Dengan demikian, dapat kita simpulkan peranan pegawai pemasyarakatan sangatlah mempengaruhi akan menjadi lebih baiknya narapidana/pelaku kejahatan tersebut. Namun, pada prakteknya pegawai pemasyarakatan seolah masih mengatut sistem pemenjaraan jadi tidak jarang pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia sering terjadi bagi narapidana/pelaku kejahatan dan akhirnya ketika narapidana tersebut kelaur dari Lembaga Pemasyarakatan tidak berperaruh terhadap perilakunya dalam menjalani kehidupan. Contohnya pada kasus diatas, salah satu dari pelaku kejahatan adalah seorang residivis. Artinya bahwa, residivis tersebut tidak menjadi lebih baik setelah menghirup udara bebas. Saya menyarankan untuk Lembaga Pemasyarakatan lebih mengedepankan perbaikan/rehabilitasi bukan pembalasan bagi narapidana. Kepada pemerintah dalam hal perekrutan pegawai Pemasyarakatan lebih mengedepankan kualitas Sumber Daya Manusianya untuk mencapai harapan pembina yang mempunyai akhlak baik dang mengedepankan hati nurani dalam menjalankan tugasnya. Lebih kedepankan lagi tes mengenai Psikis calon pegawai tersebut, tentu itu akan lebih baik, karena bagi orang-orang yang mempunyai tingkat emosi tinggi maka dapat di pastikan saat menjadi pegawai Pemasyarakatan dia akan berlaku semena-mena terhadap narapidana/pelaku kejahatan. Maka hilanglah harapan warga binaan menjadi manusia lebih baik dan dapat diterima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.