KASUS
POSISI
Pada pukul 02.30 WIB, tanggal 27 Oktober 2013, di Jalan
Raya Simpang Tiga dekat Tugu Kelurahan Simpang Tiga Kecamatan Kaur Utara, telah
terjadi suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana pencurian dengan
kekerasan, atas peristiwa tindak pidana pencurian tersebut, Verawati sebagai
korban melaporkan peristiwa tersebut kepada pihak Kepolisian Sektor aur Utara.
Kronologis peristiwa tindak pidana pencurian dengan kekerasan tersebut berawal
ketika 2 (dua) orang tersangka yang bernama Iwan Joeheri dan Lianto melintasi
Jalan Raya Simpang Tiga dekat Tugu Kelurahan Simpang Tiga Kecamatan Kaur Utara
dengan menggunakan sepeda motor Merk Yamaha Jupiter MX, sementara tersangka
Iwan Joeheri yang mengendarai sepeda motor tersebut dan tersangka Lianto dengan
posisi dibonceng. Pada saat yang bersamaan kedua tersangka melihat 2 (dua)
orang perempuan yang sedang berjalan di tepat di arah depan kedua tersangka,
lalu tanpa pikir panjang Kedua tersangka Iwan Joeheri dan Lianto menghampiri 2
(dua) orang perempuan tersebut dan menarik paksa sebuah tas salah satu dari 2
(dua) orang perempuan tersebut yang pada ketika itu menyandang tas dibahu
sebelah kanannya, sempat juga perempuan tersebut melakukan perlawanan dengan
menarik tali tasnya, namun karena tersangka Lianto memegang bagian isi tas dan
tersangka pun lebih kuat menariknya, hingga akhirnya tali tas dari perempuan
itu (Verawati) putus dan tas pun berhasil dirampas oleh kedua tersangka,
kemudian kedua tersangka pun melarikan diri dengan sepada motor yang melaju
kencang.
Lalu dengan histerisnya perempuan (Verawati/Korban) dan
temannya tersebut berteriak dengan keras “Jambret…. Jambret…. Jambret”, dan
masyarakat yang pada saat itu berada di sekitar lokasi kejadian mendengar
teriakan tersebut, ketika itu seorang saksi bernama Jhon Seri yang kebetulan
tidak begitu jauh dari lokasi kejadian langsung mengejarnya, karena panik serta
ketakutan, kedua tersangka kehilangan konsentrasi dan akhirnya mereka terjatuh
akibat mobil yang menghalangi jalan mereka, kemudian saksi Jhon Seri menangkap
dan mengamankannya berikut barang bukti berupa tas beserta isinya, dan Motor
yang digunakan oleh kedua Tersangka pun ikut diamankan, hingga akhirnya
Verawati perempuan yang menjadi korban tindak pidana pencurian tersebut melaporkan
kejadian yang menimpanya kepada pihak Kepolisian Sektor Kaur Utara. Ketika
diperiksa oleh Pihak Kepolisian Sektor Kaur Utara, kedua tersangka mengakui
bahwa memang sebelumnya kedua tersangka sudah merencanakan kejahatan yang akan
mereka lakukan, namun atas anjuran (uitloken) dan ajakan dari tersangka Iwan
Joeheri, dengan kalimat ajakan “Ayo kita Z” (yang dimaksud dalam kalimat
tersebut adalah Zambret), dan Tersangka Liantol pun menjawab “Ayo”.
Akibat tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang
dilakukan oleh tersangka Iwan Joeheri dan tersangka Lianto secara bersama-sama,
mengakibatkan tangan korban terpelintir dan menjadi bengkak sakit. Adapun
barang bukti yang telah disita oleh Pihak Kepolisian Sektor Kaur Utara akibat
tindak pidana pencurian dengan kekerasan oleh para tersangka, Iwan Joeheri dan
Lianto, yang dilakukan secara bersama-sama, diantaranya:
1. 1 (Satu) buah tas warna hitam berbentuk bulat.
2. 1 (Satu) buah dompet wanita.
3. 3 (Satu) lembar uang kertas Rp.
100.000,- (sepuluh ribu rupiah).
4. 1 (Satu) unit sepeda motor Merk
Yamaha Jupiter MX, dengan Nomor Polisi BD 3918 W.
Hasil penyidikan atas
tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh tersangka Iwan
Joeheri dan Lianto secara bersama-sama, yang mana salah satu tersangkat adalah
salah seorang residivis yang baru beberapa bulan keluar dari Lembaga
Pemasyarakatan. Pihak Kepolisian Sektor Kaur Utara menerapkan Pasal 365 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
TINJAUAN
YURIDIS ATAS KASUS PENCURIAN DENGAN KEKERASAN
Bila menilik kasus di atas, tentu kita tidak dapat
meninggalkan studi yang di namakan Penologi dan Kriminologi.
Topo Santoso, S.H., M.H. dan Eva Achjani Zulfa, S.H
dalam buku Kriminologi. Teori psikoanalisa tentang kriminalitas menghubungkan
delinquent dan perilaku kriminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang
baik dia begitu menguasai sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu
lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan individu, dan bagi
suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera.
Atas
kasus yang dilakukan oleh dua orang pemuda pada kasus posisi diatas, kita harus
mempelajari kondisi pelaku dalam bermasyarakat. Suatu cara dalam mempelajari
suatu masyarakat adalah dengan melihat pada baian-bagian komponennya dalam
usaha mengetahui bagaimana masing-masing berhubungan satu sama lain. Dengan
kata lain kita melihat kepada struktur dari suatu masyarakat guna melihat
bagaimana ia berfungsi. Jika masyarakat itu stabil, bagian-bagiannya beroperasi
secara lancar, susunan-susunan sosial berfungsi. Masyarakat seperti itu
ditandai oleh kepaduan, kerja sama, dan kesepakatan. Namun, jika bagian-bagian
komponennya tertata dalam satu keadaan yang membahayakan keteraturan/ketertiban
sosial, susunan masyarakat itu tersebut dysfunctional (tidak berfungsi). Sebagai
analogy, jika kita melihat jam dengan semua bagian-bagiannya sangat sinkron. Ia
berfungsi dengan tepat. Namun jika satu pernya yang kecil itu rusak,
keseluruhan mekanisme tidak lagi berfungsi dengan secara baik. Demikianlah
perspektif structural functional yang dikembangkan oleh Emile Durkheim sebelum
akhir abad-19. Jadi, ketika suatu perbuatan pidana terjadi pada suatu tempat
atau suatu masyarakat banyak hal yang dapat dilihat dari banyak sudut pandang
terhadap pelaku kejahatan itu. Faktor-faktor kehidupan sosial tentu
mempengaruhi terjadinya perilaku menyimpang atas salah satu masyarakat atau
kelompok masyarakat pada suatu daerah, dan masih ada beberapa faktor lagi
seperti ekonomi, kebiasaan dan lain-lain.
Tindak pidana pencurian pertama yang diatur dalam KUHP
di dalam Buku II KUHP adalah tindak pidana dalam bentuk pokok-pokok yang memuat
semua unsur dari tindak pidana pencurian (Pasal 362 s.d. Pasal 367, meliputi
beberapa jenis tindak pidana pencurian) sebagai berikut :
a.
Pencurian biasa (Pasal 362);
b.
Pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi (Pasal 363);
c.
Pencurian ringan (Pasal 364);
d.
Pencurian dengan pemberatan (Pasal 365);
e. Pencurian dalam keluarga
(Pasal 367).
Melihat kasus di atas,
maka kita akan fokus terhadap pasal 365 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP).
Pasal 365 ayat (1)
Diancam
dengan pidana paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai
atau diikuti kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud
untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap
tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau
untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
Ayat (2)
Diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :
1.
Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam hari dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan;
2.
jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3.
jika masuk ketempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat dengan
memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;
4.
jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
Ayat (3)
Jika
perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
Ayat (4)
Diancam
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling
lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan
dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula salah satu
hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.
Dari pasal-pasal Kitab Undang-undang
Hukum Pidana terhadap kasus posisi diatas maka ayat dari pasal yang tepat
dikenakan atas perbuatan pelaku kajahatan yang dilakukan oleh kedua orang
tersangka Iwan Joeheri dan Lianto yakni: Ayat (2)
Diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :
1.
Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam hari dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan;
2.
jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3.
jika masuk ketempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat dengan
memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;
4.
jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
Untuk
Ayat ke (4) saya rasa tidak perlu dikenakan terhadap pelaku kejahatan diatas,
karnea menurut saya substansi pasal tersebut akan bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia dan tujuan dari proses pemasyarakatan yangmana membuat para pelaku
tindak kejahatan untuk menjadi lebih baik kedepannya, apabila ayat (4) dikenakan
maka dapat dipastikan tidak ada kesempatan bagi pelaku tindak pidana untuk
menjadi manusia lebih baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dan akhirnya setelah selesainya proses dipengadilan
atas kasus kejahatan yang dilakukan oleh dua orang pelaku kejahatan akan
menjalani tahapan pemidanaan ke dalam lembaga pemasyarakatan untuk mendapatkan
pembinaan atau rehabilitasi.
Ditinjau dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
Tentang Pemasyarakatan atas kasus diatas, karena tersangka salah satunya
seorang residivis. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila, pemikiran- pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi
sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan
reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem
pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang lalu dikenal dan
dinamakan sistem pemasyarakatan.
Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai
tatanan (stelsel) pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat (Pasal 14a KUHP),
pelepasan bersyarat (Pasal 15 KUHP), dan pranata khusus penuntutan serta
penghukuman terhadap anak (Pasal 45, 46, dan 47 KUHP), namun pada dasarnya
sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem pemenjaraan, sistem
pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sehingga
institusi yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi
Narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak yang bersalah.
Sistem
pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang
disertai dengan lembaga "rumah penjara" secara berangsur-angsur
dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep
rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar Narapidana menyadari kesalahannya, tidak
lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga
masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan
lingkungannya.
Narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek
yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan
kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus
diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan
Narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau
kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah
upaya untuk menyadarkan Narapidana atau Anak Pidana agar menyesali
perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat
kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan,
sehingga tercapai
kehidupan
masyarakat yang aman, tertib, dan damai.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak
pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di
atas melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran
Lembaga Pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan
yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan
dalam Undang-undang ini ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum.
Sistem Pemasyarakatan disamping bertujuan untuk
mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga
bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak
pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian
yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dalam sistem pemasyarakatan, Narapidana, Anak Didik
Pemasyarakatan, atau Klien Pemasyarakatan berhak mendapat pembinaan rohani dan
jasmani serta dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan
dengan pihak luar baik keluarga maupun pihak lain, memperoleh informasi baik
melalui media cetak maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan
lain sebagainya.
Untuk
melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan
masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan
sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai
menjalani pidananya.
Selanjutnya untuk menjamin terselenggaranya hak-hak
tersebut, selain diadakan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang secara
langsung melaksanakan pembinaan, diadakan pula Balai Pertimbangan
Pemasyarakatan yang memberi saran dan pertimbangan kepada Menteri mengenai
pelaksanaan sistem pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yang memberi
saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di setiap Unit
Pelaksana Teknis dan berbagai sarana penunjang lainnya.
Untuk menggantikan ketentuan-ketentuan lama dan
peraturan perundang-undangan yang masih mendasarkan pada sistem kepenjaraan dan
untuk mengatur hal-hal baru yang dinilai lebih sesuai dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, maka dibentuklah Undang-undang tentang Pemasyarakatan
ini.
Residivis adalah orang yg pernah dihukum mengulangi
tindak kejahatan yg serupa; penjahat kambuhan, jadi perlu kita perhatikan hal
yang mendasari perbuatan yang dilakukan oleh tersangka. Apakah dia melakukan
kejahatan karena benar faktor himpitan ekonomi atau karena tidak menjadi baik
beliau setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan dan atau karena beliau memang
orang yang mempunyai watak sebagai penjahat?.
REKOMENDASI
Hal mana suatu perbuatan pidana adalah suatu
perbuatan melawan hukum yang jelas-jelas akan merugikan masyarakat secara
ekonomi, sosial dan budaya. Bila melihat kasus posisi diatas, perbuatan
pencurian dengan kejahatan sudah pasti telah merugikan salah satu pihak yaitu
korban. Maka sudah barang tentu perbuatan yang dilakukan oleh tersangka
diberikan ganjaran setimpal yakni pemidanaan, namun dalam hal pemidanaan kita
juga harus memperhatikan Hak Asasi Manusia, tidak bisa serta merta diberikan
penjatuhan hukuman seberat-beratnya terhadap pelaku kejahatan itu. Karena sejak
diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
Indonesia telah mengubah sistem dalam penanganan pelaku kejahatan. Bila dulu
bagi setiap pelaku tindak pidana diberikan pembalasan penjara atas perbuatan
yang telah dilakukannya. Saat ini, sesuai dengan undang-undang tersebut bagi
setiap pelaku kejahatan akan diberikan pembinaan setelah dijatuhkannya putusan
oleh pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan dimasukkan
kedalam Lembaga Pemasyarakatan atau dengan kata lain di rehabilitasi di Lembaga
pemasyarakatan demi menjadikan pelaku kejahatan mempunyai kesempatan untuk
menjadi seorang masyarakat baik dalam menjalani kehidupan di depan setelah
keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.
Dengan demikian, dapat kita
simpulkan peranan pegawai pemasyarakatan sangatlah mempengaruhi akan menjadi
lebih baiknya narapidana/pelaku kejahatan tersebut. Namun, pada prakteknya
pegawai pemasyarakatan seolah masih mengatut sistem pemenjaraan jadi tidak
jarang pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia sering terjadi bagi
narapidana/pelaku kejahatan dan akhirnya ketika narapidana tersebut kelaur dari
Lembaga Pemasyarakatan tidak berperaruh terhadap perilakunya dalam menjalani
kehidupan. Contohnya pada kasus diatas, salah satu dari pelaku kejahatan adalah
seorang residivis. Artinya bahwa, residivis tersebut tidak menjadi lebih baik
setelah menghirup udara bebas. Saya menyarankan untuk Lembaga Pemasyarakatan
lebih mengedepankan perbaikan/rehabilitasi bukan pembalasan bagi narapidana.
Kepada pemerintah dalam hal perekrutan pegawai Pemasyarakatan lebih
mengedepankan kualitas Sumber Daya Manusianya untuk mencapai harapan pembina
yang mempunyai akhlak baik dang mengedepankan hati nurani dalam menjalankan
tugasnya. Lebih kedepankan lagi tes mengenai Psikis calon pegawai tersebut,
tentu itu akan lebih baik, karena bagi orang-orang yang mempunyai tingkat emosi
tinggi maka dapat di pastikan saat menjadi pegawai Pemasyarakatan dia akan
berlaku semena-mena terhadap narapidana/pelaku kejahatan. Maka hilanglah
harapan warga binaan menjadi manusia lebih baik dan dapat diterima dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.